By Dr Sony Rospita Simanjuntak (published in Minergynews. Com in 2001)
[Pengamat Hukum Pertambangan Indonesia dan Peneliti di Kantor Konsultan Hukum Arthur Robinson & Hedderwicks, di Melbourne, Australia]
Ada orang berkata bahwa manusia yang hanya mengandalkan hasil alam, seperti tambang, daripada hasil suatu budidaya atau industri adalah bak binatang saja (tanpa akal budi). Bahan galian adalah modal warisan bagi manusia, sedangkan hasil budidaya adalah pendapatan manusia sehingga manusia boleh memanfaatkan modal warisannya dengan sangat hati-hati semata-mata demi upaya peningkatan pendapatan (Bemmelen, 1949).
Dengan perkataan lain, adalah normal bagi suatu negara yang baru merdeka untuk mengandalkan penerimaannya dari usaha tambang yang merupakan bisnis tradisional atau primitif. Namun ke depan, negara tersebut harus mampu beralih ke mata pencaharian yang lebih canggih. Kalaupun toh masih dari sektor pertambangan, maka sudah ada nilai tambahnya, atau dengan kata lain sudah diproses.
Ironisnya, pada abad ke 21 ini, entah karena salah atur atau salat strategi, Indonesia yang telah lebih setengah abad merdeka, kembali ke titik awal (kalau tidak minus) pada kategori pemula. Sekarang ini, yang menjadi pusat-pusat ekonomi Indonesia adalah sektor pertambangan, kelautan, pertanian, dan pariwisata yang kesemuanya adalah pemanfaatan sumberdaya alam. Namun kali ini berbeda dengan negara yang masih muda yang masih punya posisi kuat atas sumberdaya alamnya, justeru sektor-sektor modal utama Indonesia inilah yang dituntut oleh IMF untuk lebih dibuka lagi untuk globalisasi dan penanaman modal asing.
Sekarang bagi sektor pertambangan, apakah artinya semua ini? Masih adakah gerangan ruang untuk menolak ditambangnya bahan galian demi anak-cucu (dalam pengertian konservasi) bila kenyataannya memang sektor inilah yang dijadikan modal untuk bangkit? Atau, masih relevankan alasan untuk menahan dulu sampai punya modal dan kemampuan sendiri untuk menambang, yang berarti sikap perlawanan terhadap penanaman modal asing? Sedangkan kenyataannya sudah setengah abad kesempatan diberikan, kemampuan modal dalam negeri untuk menambang masih saja minim. Justeru sekarang ini, potensi sektor pertambangan sebagai modal pembangunan sudah jauh berkurang dibandingkan ketika baru merdeka, karena sudah setengah abad dieksploitasi dan hasilnya disalahgunakan tadi.
Dengan keadaan ekonomi saat ini, adalah sulit bagi Indonesia untuk jual mahal dengan menolak usaha pertambangan. Sulit bagi Indonesia bicara mengenai sektor pertambangan dan pembangunan yang berkesinambungan (the sustainable development). Belum lagi untuk konsentrasi dengan masalah lingkungan hidup. Saat ini saja, internasional dengan greenpeace dan eco-labelling dan entah apa lagi nantinya (human rights?) sudah menyulitkan sektor pertambangan. Belum juga berbicara tentang persaingan antar sektor ini dengan sektor pariwisata nantinya (the beauty of nature?). Masalah lainnya, menurut pendapat penulis, yang tidak kalah pentingnya bagi usaha pertambangan di Indonesia adalah perlombaan sektor ini dengan lajunya tingkat penduduk sehubungan dengan persaingan atas lahan.
Secara konsitional saja, sesungguhnya tidak ada alasan untuk menolak pengusahaan sumberdaya mineral di Indonesia. Pasal 33(3) UUD’45 telah memberikan kuasa kepada Pemerintah untuk mengatur diusahakannya sumberdaya mineral. Yang penting adalah bagaimana Pemerintah mengontrol sumberdaya mineralini sehingga memberikan manfaat bagi Indonesia. Dari segi pengadministrasian pengusahaan secara sederhana dapat dikatakan bahwa terserah kepada Pemerintahlah bagaimana mengatur pengusahaan penambangan bahan-bahan galian, yang mana yang ingin dijadikan monopoli pemerintah dan yang mana yang boleh diusahakan oleh swasta melalui lembaga perizinan, entah apa pun nama izin yang diberikan.
Pada awal-awalnya Indonesia, sebagaimana layaknya negara-negara dunia ketiga lainnya, memperlakukan sektor pertambangan dengan ekstra hati-hati. Hal ini tercermin dalam undang-undang pertambangannya yang sangat nasionalistik. Kemudian, karena ketidakmampuan dalam modal, teknologi, dan manajemen, berangsur-angsur berubah menjadi liberal. Terlepas dari misi baik yang diemban PBB, justeru di bawah pengaruh PBB-lah negara-negara terbelakang mulai membuka pintunya dengan memperkenalkan undang-undang penanaman modal asing (PMA). Di Indonesia untuk PMA di sektor pertambangan, dimulai sejak UU PMA 1958 dan UU (Perpu) Pertambangan 1960 yang kemudian diganti dengan UU PMA 1967 dan UU Pertambangan 1967.
Sekarang ini, mengapa ada pengusahaan pertambangan sendiri oleh BUMN (seperti Pertamina, Aneka Tambang, Timah, Tambang Batubara Bukit Asam, termasuk BUMD seperti PD Kerta Pertambangan Jawa Barat, PD Pertambangan DI-Yogyakarta, dan PD Pertambangan Dati II Jember) dan ratusan kontrak kerjasama disamping pengusahaan pertambangan berdasarkan pemberian izin yang biasa, tidak lain adalah merupakan usaha Pemerintah dalam rangka mengejar manfaat tadi. Pertanyaannya adalah apakah misi Pemerintah tersebut tercapai?
Jika memang harus melalui pengusahaan sendiri, yang berarti monopoli, maka adalah penting bahwa itu hanya bisa dilakukan apabila Pemerintah sanggup untuk membiayai dan mengerjakan sendiri semua-semuanya termasuk tahapan yang beresiko tinggi dan pada modal seperti eksplorasi dan konstruksi (Stigzelius, 1962). Biasanya kunci utama dalam pengusahaan sendiri adalah efisiensi. Sedangkan, tanpa memperhatikan dari dekat kemampuan teknologi, manajemen dan pemasaran BUMN di Indonesia, dari sudut permodalan saja, sekarang ini Pemerintah sudah nyata-nyata tidak mampu. Selanjutnya, fakta mengungkapkan bahwa BUMN di Indonesia jauh dari apa yang disebut dengan efisien.
Tidak heran apabila kontrak-kontrak kerjasama di sektor pertambangan menjadi sangat penting peranannya, karena sistem ini adalah cara utama bagi PMA berusaha di sektor pertambangan. Hukum pertambangan di Indonesia masih belum memperbolehkan PMA untuk langsung menjadi pemegang izin pertambangan. Walaupun kenyataannya, sebagai terobosan dalam menjawab tuntutan keadaan, kontrak karya ditinjau dari sudut pemberian hak-haknya adalah sudah hampir sama saja dengan izin pertambangan. Mengingat bahwa dasar dari pengusahaannya adalah semata-mata kontrak, maka berbeda dengan pengaturan rejim hukum pertambangan, peranan pihak yang mempunyai ‘bargaining powers’ sangat besar. Dari pihak PMA, sudah tentu mereka tidak akan mau datang kalau tidak ada prinsip ‘fair treatment’. Perlu menghindar dari pemerintah tuan rumah yang menjadi tamak ketika PMA berhasin menemukan bahan galian yang dieksporasinya. Jadi, tugas Pemerintah adalah bagaimana membuat formula yang seimbang.
Selama sistem PMA di sektor pertambangan masih menganut sistem kontrak, memang sudah sewajarnya apabila Pemerintah (termasuk pemerintah daerah) harus selalu ulet dalam bernegosiasi dengan PMA tambang. Secara umum, keuntungan yang diperoleh suatu negara dari pemberian izin pertambangan adalan dari pajak dan royalti disamping hal-hal yang tidak langsung seperti penyediaan lapangan kerja dan perangsangan pertumbuhan daerah. Biasanya negara-negara sangat cepat untuk saling mempelajari berapa sesungguhnya persentase royalti dan pajak yang lazim. Perolehan dari royalti (iuran tetap dan iuran produksi) dan pajak inilah yang harus diawasi dengan sungguh-sungguh, jangan sampai bocor atau tertipu.
Jika dulu Pemerintah mengundang Freeport dan PMA tambang lain dengan ‘tax-holiday’ untuk beberapa tahun, maka selain karena itu merupakan strategi saat itu untuk mengundang masuk PMA, hal itu juga diimbangi dengan keharusan PMA untuk membuka daerah, membangun sekolah dan rumah sakit dan lain sebagainya, yang dikenal dengan ‘community programs’. Dari segi hukum PMAnya sendiri, PMA diharapkan untuk memberikan ‘training’ (alih teknologi) dan program divestasi atau penyertaan modal dalam negeri. Namun, apabila perusahaan PMA sudah dikenakan pajak berdasarkan hukum perpajakan yang berlaku umum disamping pembayaran royalti, maka tidak heran jika ‘trend’-nya sekarang ini bagi PMA adalah untuk menghindar dari kewajiban-kewajiban pembangunan sekolah, rumah sakit dan sejenisnya, mengacu kepada praktek-praktek dunia pertambangan umumnya. Demikian pula dengan program divestasi, negara-negara maju sekalipun seperti Australia, bila tidak ada pengusaha dalam negeri yang mau mengikutsertakan modalnya dalam perusahaan tambangan asing, tidak harus program divestasi tersebut dilaksanakan secara paku-mati.
Jadi, selama PMA tambang masih berdasarkan sistem kontrak, Pemberintah memang harus adu ulet dalam bernegosiasi. Disamping itu, jika memang Pemerintah dan kondisi perusahaan swasta nasional memungkinkan, Pemerintah dapat menetapkan ‘policy’ yang dapat mendongkrak kemampuan perusahaan swasta nasional di sektor pertambangan, seperti penyertaan modal dalam negeri/lokal pada waktu usaha tambang memasuki tahap produksi, sehingga bukan saja ketergantungan kepada PMA yang berkurang tetapi misi Pemerintah yang diembankan oleh UUD’45 tercapai.