Dikatakan bahwa Kartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa atau priyayi, hal itu karena kalau dilihat dari silsilahnya maka terlihatlah bahwa nenek moyangnya adalah keturunan Raja Majapahit.
Pada zaman kolonialisme Belanda, yaitu pada awal-awalnya, Belanda memberikan jabatan bupati kepada golongan bumi putera dan jabatan tersebut diberikan berdasarkan keturunan. Kemudian, terjadilah perubahan yaitu dengan menambahkan syarat berpendidikan dan syarat pengalaman kerja akan tetapi faktor keturunan masih berpengaruh.
Kakek Kartini, Pangeran Ario Tjondronegoro IV (terakhir menjabat sebagai Bupati Demak) diangkat Belanda menjadi Bupati Kudus ketika dia hanya berumur 25 tahun. Belanda menganugrahinya dengan gelar ‘Pangeran’ karena kesuksesannya dalam mengatasi musim paceklik.
Dia termasuk bupati pertama yang memberikan pendidikan Belanda kepada anak-anaknya. Tercatat bahwa pada tahun 1861, beliau mendatangkan secara khusus seorang guru dari Belanda bernama CS Van Kesteren untuk mendidik anak-anaknya di rumah. Dia terkenal karena kebanyakan dari anak-anaknya (yaitu empat orang) menjadi bupati:
- Rahadian Prawoto atau Tjondronegoro V (Bupati Brebes)
- Rahadian Purboningrat atau Raden Mas Tumenggung Ario Purboningrat (Bupati Semarang)
- Rahadian Samingun atau Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (ayah Kartini-Bupati Jepara)
- Rahadian Hadiningrat atau Pangeran Ario Hadiningrat (Bupati Demak)
Tentang ayah Kartini sendiri, Rahadian Samingun atau Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, pada tahun 1872, sebelum menjadi Bupati Jepara, dia menikah dengan ibu kandung Kartini yang bernama MA Ngasirah. Ibu kandung Kartini ini bukan berasal dari keluarga bangsawan Jawa tetapi dari keluarga dusun. Begitupun, kakek Kartini dari pihak ibu kandungnya, Kyai Modirono yang menikah dengan Siti Aminah, nenek Kartini, adalah seorang guru agama.
Ayah Kartini yang sangat fasih berbahasa Belanda meniti karirnya di bidang pemerintahan. Pada waktu itu, Pemerintah Kolonial Belanda mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang wanita bangsawan juga. Oleh karenanya, pada tahun 1875 ayah Kartini menikah lagi dengan RA Woerjan (Moerjam) putri RAA Tjitro Wikromo (Bupati Jepara) yang merupakan keturunan langsung Raja Madura. Pada waktu RAA Tjitro Wikromo meninggal dunia, ayah Kartini diangkat menjadi Bupati Jepara menggantikan ayah mertuanya.
Pernikahan yang kedua kali ayah Kartini ini menjadikan isteri keduanya yaitu RA Woerjan (Moerjam ) menjadi isteri utama atau garwa padmi sedangkan isteri pertamanya, MA Ngasirah, yang notabenenya adalah ibu kandung Kartini dan yang sudah memberikannya terlebih dahulu ayah Kartini dengan dua orang anak laki-laki, menjadi garwa ampil. Akan halnya Kartini sendiri dan seorang kakak laki-laki kandungnya yang terkenal dengan nama Kartono serta empat lagi adik kandungnya lahir justru sesudah ayah mereka menikah kedua kalinya. Dari isteri keduanya, ayah Kartini mendapat tiga orang puteri, seorang lebih tua dari Kartini dan dua orang lagi lebih muda. Ayah Kartini dikenal sebagai seorang ayah yang berlaku adil kepada anak-anaknya. Bahkan Kartini yang lincah, dipanggil ‘Trinil’, sangat dekat dengan dua adik sebayanya: seorang adik perempuan tiri dan seorang adik perempuan kandung. Kartini, Roekmini dan Kardinah sering disebut sebagai ‘Tiga Serangkai’.
Jadi dari kedua isterinya, ayah Kartini mendapatkan sebelas orang anak dengan urutan sebagai berikut:
- RM Slamet Sosroningrat (1873-kakak laki-laki kandung tertua Kartini)
- PA Sosrobusono (1874-kakak laki-laki kandung Kartini yang menjadi Bupati Ngawi)
- RA Soelastri (1877-kakak perempuan tiri Kartini)
- Drs RMP Sosrokartono (1877-kakak laki-laki kandung Kartini)
- RA Kartini (1879)
- RA Roekmini (1880-adik perempuan tiri Kartini)
- RA Kardinah (1881-adik perempuan kandung Kartini yang menjadi isteri Bupati Tegal)
- RA Kartinah (1883-adik perempuan tiri Kartini)
- RM Muljono (1885-adik laki-laki kandung Kartini)
- RA Soematri (1888-adik perempuan kandung Kartini)
- RM Rawito (1892-adik laki-laki kandung termuda Kartini)
Pada tahun 1903, ketika Kartini berumur 24 tahun, dia dipaksa ayahnya menikah dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat (Bupati Rembang) yang adalah teman ayahnya. Suami Kartini menikahi Kartini karena sebelum isterinya, Soekarmilah (garwa padmi), meninggal, ia berpesan (wasiat jati) supaya suaminya menikahi Kartini yang dikaguminya itu. Jadi, Kartini berstatuskan isteri utama (garwa padmi) menggantikan Soekarmilah dan ketika itu KRM Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat juga sudah mempunyai dua orang isteri lain (garwa ampil). Kartini memberikan banyak syarat sebelum setuju untuk dinikahi termasuk larangan mengambil garwa ampil lagi.
Pada tahun 1904, Kartini melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama RM Soesalit Djojoadhiningrat tetapi dipanggil ‘Singgih’. Empat hari setelah melahirkan, Kartini meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang. Karena anak Kartini tidak sampai mengenal ibunya, dia diberi nama Soesalit yang adalah kependekan dari soesah naliko alit (susah semasa kecil). Bapaknya kemudian menikah lagi dengan seorang wanita keturunan Raja Mataram yang malangnya juga meninggal dunia pada waktu persalinan tapi sang anak turut meninggal.
Akan halnya, putra satu-satunya Kartini yaitu RM Soesalit Djojoadhiningrat atau Singgih, keluarga Kartini pernah meminta agar dia bisa dipelihara oleh mereka tetapi permohonan itu ditolak. Pada khususnya adik kandung Kartini yang bernama Kardinah, isteri Bupati Tegal, ingin sekali merawatnya. Namun, ‘Singgih’ besar di bawah naungan kakak-kakak tirinya. Sesudah besar, dia berkarir dalam bidang ketentaraan dengan pangkat tertinggi Mayor Jenderal. Dia menikah dengan Siti Loewijah dan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Boedi Setyo Soesalit yang lahir tanpa dilihatnya karena pada tahun 1962 Singgih meninggal dunia dalam usia 57 tahun. Dia dimakamkan di makam keluarga bersama-sama dengan ibunya, Kartini, yaitu di pemakaman keluarganya di Bulu, Rembang.
Cucu satu-satunya Kartini, Boedi Setyo Soesalit adalah seorang yang sangat pandai dan mendapat beasiswa berkuliah di Australia tetapi memilih bekerja di sektor swasta. Dia menikah dengan Sri Bijatini dan memiliki lima orang anak yang adalah cicit-cicit Kartini: RA Kartini Setiawati Soesalit, RM Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM Samingoen Bawadiman Soesalit, dan RM Rahmat Harjanto Soesalit
Boedi Setyo Soesalit sendiri sudah meninggal dunia dan isterinya, Sri Bijatini pada tahun 2016 diberitakan sudah berumur 79 tahun dan hidup sederhana sekali. Mereka pun sudah dikaruniai cucu-cucu yaitu buyut-buyut Kartini tetapi memilih untuk tidak memberitahukan pihak luar tentang darah Kartini yang mengalir di dalam tubuh mereka.
(Dirangkum dari berbagai sumber Internet guna mempermudah belajar topik Kartini)