Dalam rangka 17 Agustus, selain dari upacara juga ada perayaan-perayaan.
Yang paling terkenal adalah acara ‘Panjat Pinang’. Seperti namanya, permainan ini adalah permainan memanjat. Yang dipanjat adalah sebuah pohon pinang yang sangat tinggi. Di bagian atas pohon terdapat banyak hadiah menarik yang digantungkan dengan sebuah tali. Para peserta berlomba untuk mendapatkan hadiah-hadiah tersebut. Akan tetapi, tidak mudah untuk memanjat pohon tersebut karena batangnya sudah terlebih dahulu dilumuri oleh minyak sehingga menjadi licin.
Permainan ini merupakan atraksi yang mendapatkan perhatian orang banyak karena batang yang licin sering membuat pemanjat jatuh. Tidak jarang para pemanjat bekerja sama sehingga salah seorang temannya berhasil melewati bagian batang yang paling licin dengan berdiri di atas bahu temannya, sedemikian rupa sampai bertingkat-tingkat dan melibatkan beberapa orang dan seorang dari mereka akhirnya bisa memanjat batang yang kurang licin dan terus memanjat ke atas dan meraih hadiah-hadiahnya.
Selain permainan ‘Panjat Pinang’ yang biasanya adalah acara utama, ada lagi permainan lainnya yang disesuaikan dengan umur peserta.
Di bawah ini adalah komentar-komentar orang yang pernah ikut permainan-permainan ketika mereka kecil (disadur dari Majalah Femina Edisi No. 32/XXXVIII, 14-20 Agustus 2010):
“Saya nggak pernah absen ikut lomba nyanyi di kecamatan. Kalau menang, pialanya saya pamerkan pada Opung, supaya dia bisa ikut bangga!” (Lily Simanjuntak, 25, lajang, pegawai keuangan, Tanjung Pinang)
“Serunya, tuh, waktu lomba memasukkan benang ke jarum. Rasanya sulit sekali dan mata juga perih lihat lubang jarum yang kecil itu.” (Putri Bayu, 30, menikah, pegawai kreatif, Bandung)
“Setiap kali ikut lomba memindahkan bendera kecil dari botol ke botol, saya selalu membayangkan jadi seorang pahlawan yang sedang berperang membela negara.” (Ajeng Soeprawi, 26, lajang, mahasiswi, Yogyakarta)
“Paling suka lomba bawa kelereng pakai sendok. Karena sambil jalan, otomatis kelerengnya goyang-goyang terus dan bikin gregetan kalau jatuh.” (Eli Subeki, 34, menikah, pegawai administrasi, Jakarta)
“Lomba menggambar wajah orang. Sebelumnya, dengam mata tertutup, saya berjalan dari jarak 2 meter ke arah kertas yang sudah ditempel di tembok. Hasilnya pasti lucu.” (Apri Resdiyanti, 27, lajang, pegawai sumberdaya manusia, Jakarta)
“Paling senang lomba ambil koin dari jeruk bali yang sudah dilumuri tepung. Setelahnya, gigi jadi penuh tepung dan wajah jadi menakutkan.” (Yuyun Ariany, 25, lajang, pegawai administrasi, Jakarta)
“Joget bareng teman sambil menjepit balon di antara dahi. Seru, deh. Pernah, balon pecah persis di depan muka. Wajah putih saya langsung memerah.” (Maya Andansari, 25, lajang, pegawai bank, Jakarta)
“Dulu saya ikut lomba badminton dan beberapa hari sebelum lomba, sudah giat latihan sama Om. Ternyata lawan saya lebih besar dan jago. Saya kalah telak dan pulang sambil menangis.” (Rizka Nurlita Andi, 35, lajang, pegawai media, Jakarta)
“Waktu SD, saya kebagian lomba balap karung. Itu lomba pertama dan terakhir. Saya kapok setelah jatuh, luka-luka, dan kalah pula!” (Miranty, 27, menikah, guru les, Makassar)